Bagaimana Cara Menghidupkan Storytelling: Seni, Teknik, dan Inspirasi dalam Storytelling oleh Robert Greene

Pernahkah Anda merasa terhanyut oleh sebuah cerita hingga seolah-olah Anda ada di dalamnya?

Cerita bukan sekadar kumpulan kata di atas kertas. Ia lebih dari itu—seni yang mampu membawa kita menjelajah dunia lain, memahami perasaan yang belum pernah kita alami, atau bahkan menemukan sudut pandang baru. Detail kecil seperti aroma, suara, atau emosi adalah kunci yang membuat cerita terasa hidup, seolah-olah kita melihatnya langsung di depan mata. Penulis seperti Robert Greene, lewat buku-bukunya yang fenomenal seperti The 48 Laws of Power, membuktikan bahwa cerita bisa menjadi alat yang memikat sekaligus mengajarkan tanpa harus menggurui.

Namun, menciptakan cerita yang hidup tentu tidak semudah itu. Dibutuhkan kombinasi riset yang mendalam, disiplin menulis, dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru. Di artikel ini, kita akan mengupas bagaimana detail, struktur, dan teknik seperti “show, don’t tell” bisa mengubah cerita biasa menjadi luar biasa. 

Bersama inspirasi dari para penulis besar dan prinsip-prinsip storytelling yang universal, kita akan menjelajahi rahasia di balik cerita yang tidak hanya hidup, tetapi juga melekat di hati pembaca.

Tulisan di bawah ini adalah ringkasan dan faidah dari percakapan podcast yang berjudul “How to Tell a Great Story“, sebuah percakapan yang sarat faidah antara Robert Greene dengan David Perell. 

Yuk kita pelajari bersama…

1. Cerita sebagai Bentuk Seni dan Alat Komunikasi

Cerita mampu memikat pembaca karena memberikan rasa “hidup” melalui emosi, konflik, dan kejutan. Detail-detail seperti warna, bau, dan suara menciptakan pengalaman yang nyata.

Contoh: Jika Anda menulis cerita tentang seorang petani di ladang, jangan hanya bilang: “Dia berjalan di ladang.”

Tambahkan detail:

“Dia berjalan di antara tanaman padi yang bergoyang diterpa angin, menghirup aroma tanah basah setelah hujan.”

Detail ini membuat pembaca “merasakan” cerita.

Cerita sebagai bentuk dasar seni dan daya tarik: Cerita memiliki kekuatan untuk memikat dan menghidupkan imajinasi pembaca. Cerita yang hidup membuat pembaca merasa, melihat, dan terlibat secara emosional.

Detail menciptakan aliveness: Elemen seperti emosi, konflik, dan kejutan membuat cerita terasa nyata.

Contoh dalam penulisan Robert Greene: Ketika menulis buku seperti The 48 Laws of Power, Greene menggunakan cerita untuk mengundang pembaca masuk ke dunia yang ia ciptakan tanpa menggurui.

2. Proses Penelitian dan Penulisan Robert Greene

Greene menggunakan sistem kartu indeks untuk mencatat poin-poin penting dari buku-buku yang ia baca.

Contoh sistem kartu indeks:

Bayangkan Anda membaca buku tebal tentang sejarah. Anda menemukan cerita menarik tentang Napoleon yang menginspirasi tentara dengan pidatonya. Tulis detail ini di satu kartu indeks: Napoleon memotivasi pasukan sebelum pertempuran (halaman 123).

Kartu ini bisa dimasukkan ke kategori “Kepemimpinan.”

Greene menggunakan metode ini untuk mengorganisasi ribuan informasi secara rapi.

Pendekatan intensif: Greene melakukan riset mendalam untuk setiap bukunya, sering membaca banyak buku dan mengembangkan sistem catatan berbasis kartu indeks.

Cerita dengan drama: Dalam mencari cerita, Greene mencari elemen drama dan emosi manusia yang dapat menggambarkan tema utama buku secara efektif.

Kesulitan dalam menemukan asisten riset: Greene mengungkapkan tantangan dalam menemukan peneliti yang memahami pentingnya drama dan alur dalam cerita.

Proses kreatif: Greene menggunakan sistem catatan untuk memetakan tema dan cerita sebelum menyusun bab. Proses ini melibatkan revisi yang mendalam untuk menghilangkan bagian yang tidak relevan.

3. Gaya dan Tujuan Penulisan

Greene ingin membuat tulisannya bertahan lama, sehingga ia menghindari bahasa sehari-hari yang bisa menjadi usang. Ia juga tidak menggurui pembaca, tetapi membiarkan mereka menarik kesimpulan sendiri.

Contoh: Daripada menulis, “Jangan pernah berbohong, itu buruk,” Greene akan menceritakan kisah tentang seseorang yang berbohong dan dihukum akibatnya. Pembaca akan memahami pesan moral tanpa merasa diajari.

Gaya yang abadi: Greene berupaya menciptakan gaya penulisan yang relevan bahkan 100 tahun mendatang dengan menghindari bahasa sehari-hari yang bersifat sementara.

Menghindari moralistik: Dalam buku seperti The 48 Laws of Power, Greene tidak menggurui pembaca, tetapi membiarkan mereka menarik kesimpulan sendiri dari cerita dan pelajaran yang disajikan.

Menggabungkan emosi dan pikiran: Greene menyebutkan pentingnya menyalurkan emosi seperti kemarahan ke dalam karya, namun dengan kontrol, agar menjadi lebih kuat dan efektif.

4. Inspirasi dari Penulis dan Filsuf Lain

Greene terinspirasi oleh gaya penulis seperti Nietzsche dan Dostoevsky, yang mampu menghidupkan ide-ide abstrak melalui cerita dan karakter.

Contoh: Nietzsche sering menggunakan paradoks untuk menarik perhatian, seperti “Apa yang tidak membunuhmu membuatmu lebih kuat.” Kutipan ini memaksa pembaca merenung tentang arti kekuatan.

Pengaruh Nietzsche dan Dostoevsky: Greene terinspirasi oleh gaya hidup dan pemikiran para filsuf dan novelis besar, khususnya bagaimana mereka menghidupkan ide-ide abstrak melalui cerita dan karakter yang mendalam.

Menjaga keaslian dan fleksibilitas: Ia menciptakan gaya yang unik tetapi dapat disesuaikan dengan tema buku yang berbeda.

Ringkasan buku atomic habits

5. Pendekatan Terhadap Kreativitas

Greene percaya bahwa kreativitas membutuhkan kombinasi kerja keras (riset mendalam) dan intuisi (ide spontan).

Contoh: Jika Anda menulis tentang “persahabatan,” Anda bisa: Melakukan riset tentang cerita persahabatan terkenal, seperti persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar. Menggabungkan riset ini dengan pengalaman pribadi Anda, misalnya kisah sahabat yang mendukung Anda saat kesulitan.

Kombinasi kerja keras dan intuisi: Greene menekankan pentingnya disiplin dalam menggali ide, tetapi juga membuka diri terhadap inspirasi dan intuisi.

Proses revisi: Kreativitas sering muncul dalam proses editing dan pengembangan ide yang berulang-ulang, bukan dari ledakan ide spontan semata.

6. Struktur Buku dan Elemen Visual

Greene menggunakan catatan di margin (pinggir halaman) buku seperti kutipan atau penjelasan tambahan untuk menciptakan dialog antara teks utama dan referensi lain.

Contoh: Jika Anda menulis buku tentang manajemen, Anda bisa mencantumkan kutipan terkenal di margin, seperti:

“Keberhasilan adalah hasil kerja keras dan disiplin.” – Kutipan ini memperkuat pesan di teks utama.

Struktur visual dalam buku: Buku-buku awal Greene, seperti The 48 Laws of Power, menggunakan margin untuk menampilkan kutipan dan interpretasi sebagai dialog antara sejarah dan ide utama.

Menambahkan elemen visual yang mendalam: Elemen ini memberikan dimensi tambahan pada teks, membuatnya lebih menarik secara estetika dan informatif.

7. Pengaruh Sublim dan Sejarah

Greene percaya bahwa sejarah adalah petualangan yang menarik dan menghubungkan pembaca dengan dunia masa lalu.

Contoh: Saat menulis tentang sejarah, buat pembaca merasa “ada di sana.” Misalnya, “Bayangkan berdiri di medan perang Waterloo, mendengar dentuman meriam, dan melihat asap tebal memenuhi udara.”

Menghidupkan sejarah: Greene percaya bahwa sejarah adalah petualangan yang luar biasa dan mencoba menghubungkan pembaca dengan dunia masa lalu yang kaya dengan pelajaran relevan.

Menghubungkan sublime dengan kehidupan sehari-hari: Dalam bukunya yang sedang ditulis, Greene mencoba membuat konsep sublime relevan dan dapat diakses oleh semua orang.

8. Gaya Pidato Churchill

Churchill menggunakan repetisi untuk menciptakan momentum dan emosi dalam pidatonya.

Contoh: Dalam pidato “We Shall Fight,” Churchill berulang kali berkata, “Kita akan berjuang,” untuk menanamkan keberanian dan keteguhan. Anda bisa menerapkannya seperti ini:

“Kita akan terus belajar, meski lelah. Kita akan terus belajar, meski gagal. Kita akan terus belajar, sampai kita mencapai tujuan.”

Repetisi dan klimaks: Analisis pidato Churchill “We Shall Fight” menunjukkan bagaimana repetisi membangun momentum dan mengarahkan perhatian ke klimaks yang mengesankan.

Mengorbankan detail untuk dampak emosional: Churchill menggunakan pengulangan dan pengaturan kata-kata untuk menciptakan efek yang kuat, meskipun detail lokasi sebenarnya tidak signifikan.

9. Perjelas Pesan Utama

Buku yang hebat membutuhkan tujuan yang jelas, bukan hanya untuk hiburan atau popularitas, tetapi untuk memberikan dampak kepada pembaca.

Contoh: Jika Anda menulis buku tentang “kehidupan minimalis,” fokuslah pada bagaimana ide ini dapat mengubah hidup pembaca, bukan hanya menjelaskan tren minimalisme.

Tujuan penulisan: Penulisan yang hebat memerlukan tujuan yang jelas dan misi yang penting. Greene mendorong penulis untuk menulis dengan dedikasi terhadap ide yang mereka anggap bermakna, bukan hanya untuk popularitas atau keuntungan.

10. Pentingnya Detail dan Emosi

Greene menekankan pentingnya detail, emosi, dan fokus untuk membuat cerita hidup.

Contoh: Jika Anda menulis cerita tentang seorang anak yang kehilangan mainannya, jangan hanya katakan, “Dia sedih.” Tambahkan: “Air matanya mengalir saat dia memeluk bantal, mengingat mainannya yang hilang.”

Fokus pada detail dan emosi: Detail visual, emosi universal, dan struktur yang kohesif adalah kunci untuk menciptakan cerita yang hidup.

Disiplin dan dedikasi: Penulisan membutuhkan kesabaran dan revisi yang konstan untuk mencapai kualitas yang tinggi.

Berorientasi pada misi: Buku harus memiliki tujuan yang jelas, tidak hanya untuk menghibur tetapi juga memberikan pelajaran atau menginspirasi pembaca.

***

Prinsip-Prinsip Penting dalam Storytelling

1. Elemen Dasar Storytelling yang Kuat

Setiap cerita yang kuat biasanya memiliki beberapa elemen inti:

  1. Karakter (Character): Karakter yang menarik dan memiliki tujuan yang jelas. Pembaca atau pendengar harus bisa merasakan koneksi emosional dengan karakter ini. Contoh: Seorang petani miskin yang bercita-cita mengubah nasibnya melalui kerja keras dan doa.
  2. Konflik (Conflict): Inti dari semua cerita adalah konflik—tantangan yang dihadapi karakter. Contoh: Petani tersebut menghadapi musim kemarau panjang yang mengancam panennya.
  3. Transformasi (Transformation): Perubahan yang dialami karakter akibat konflik tersebut. Contoh: Setelah menghadapi banyak kesulitan, petani ini menjadi pribadi yang lebih sabar dan bijaksana.

2. Teori “Hero’s Journey”

Diperkenalkan oleh Joseph Campbell, Hero’s Journey adalah struktur cerita universal yang dapat digunakan dalam berbagai jenis narasi. Beberapa tahap pentingnya:

  1. Call to Adventure: Karakter diminta menghadapi sesuatu yang belum pernah ia hadapi sebelumnya.
  2. Trials and Tribulations: Karakter menghadapi tantangan yang menguji dirinya.
  3. Return with the Elixir: Karakter kembali dengan pelajaran atau hadiah dari perjalanannya.

Contoh dalam Islam: Perjalanan Nabi Yusuf, dari sumur, penjara, hingga menjadi pejabat di Mesir, adalah contoh nyata dari Hero’s Journey.

3. Teknik Show, Don’t Tell

Alih-alih menjelaskan secara langsung, ceritakan melalui tindakan, dialog, atau deskripsi yang membuat pembaca menyimpulkan sendiri.

Contoh:

Telling: “Dia takut.”

Showing: “Tangannya gemetar, keringat dingin membasahi dahinya, dan ia melangkah mundur dengan wajah pucat.”

4. Pentingnya Tema yang Kuat

Tema adalah pesan atau pelajaran inti dari cerita. Sebuah cerita yang baik sering kali memiliki tema universal yang dapat dirasakan oleh pembaca dari berbagai latar belakang.

Contoh Tema:

Kekuatan cinta (Qais dan Laila).

Keadilan dan penindasan (Kisah Nabi Musa melawan Fir’aun).

Pengorbanan dan kepahlawanan (The Lord of the Rings).

5. Alur Cerita yang Kohesif

Gunakan alur cerita yang terstruktur:

  1. Awal (Eksposisi): Perkenalkan karakter dan latar belakang cerita.
  2. Tengah (Konflik/Klimaks): Bangun ketegangan dengan tantangan utama.
  3. Akhir (Resolusi): Konflik terselesaikan, dan pembaca mendapat penutup yang memuaskan.

6. Sensory Writing (Penulisan Berbasis Indra)

Cerita yang baik harus melibatkan indra pembaca. Jelaskan apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dicium, atau disentuh oleh karakter.

Contoh:

“Aroma nasi yang baru matang menguar dari dapur, membangkitkan rasa lapar yang tak tertahankan.”

“Angin dingin menerpa kulitnya, menusuk hingga ke tulang.”

7. Pentingnya Relatabilitas

Pembaca cenderung terhubung dengan cerita jika mereka merasa ada bagian dari cerita itu yang dekat dengan pengalaman atau perasaan mereka.

Contoh: Kisah seseorang yang berjuang menghadapi kehilangan bisa terasa universal karena semua orang pernah kehilangan sesuatu atau seseorang.

8. Teknik Narasi Berlapis

Narasi berlapis melibatkan menceritakan beberapa cerita kecil yang saling mendukung cerita utama. Teknik ini sering digunakan Greene.

Contoh: Dalam cerita tentang kesuksesan, Anda bisa menyisipkan kisah pendukung dari tokoh sejarah, pengalaman pribadi, atau cerita mitos yang relevan.

9. Gunakan Konflik Internal dan Eksternal

Konflik tidak selalu harus melibatkan tokoh lain. Konflik internal, seperti perjuangan melawan rasa takut, keraguan, atau kebencian diri, juga dapat menciptakan cerita yang mendalam.

Contoh Konflik Internal: Seorang pemuda yang ragu apakah ia layak untuk memimpin komunitasnya.

Contoh Konflik Eksternal: Pemuda tersebut menghadapi oposisi dari anggota komunitas yang tidak percaya pada kemampuannya.

10. Simbolisme dan Motif

Simbolisme dapat memperdalam cerita dengan memberikan makna tambahan.

Contoh Simbolisme:

Sebuah pohon yang layu dapat melambangkan kehilangan harapan.

Sebuah lampu yang menyala dalam ruangan gelap bisa melambangkan harapan dan pencerahan.

11. Bangun Kejutan yang Terencana

Kejutan membuat pembaca tetap tertarik. Namun, kejutan harus terasa wajar, tidak terlalu dipaksakan.

Contoh Kejutan yang Terencana: Karakter utama yang terlihat lemah ternyata adalah penyelamat di akhir cerita.

12. Ending yang Berkesan

Akhir cerita harus memberikan rasa puas atau memaksa pembaca untuk berpikir lebih dalam.

Contoh Ending Tertutup: Konflik selesai, dan semua pertanyaan terjawab.

Contoh Ending Terbuka: Pembaca dibiarkan menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, mendorong diskusi.

13. Gunakan Voice yang Khas

Voice adalah cara khas Anda bercerita. Ini mencakup gaya bahasa, nada, dan sudut pandang yang unik.

Tips untuk Mengembangkan Voice:

  1. Tulis dari perspektif Anda, jangan mencoba menjadi orang lain.
  2. Bacalah tulisan Anda dengan lantang untuk memastikan alurnya alami.

14. Manfaatkan Teknik “Foreshadowing”

Foreshadowing adalah petunjuk halus tentang apa yang akan terjadi di masa depan cerita.

Contoh: Seorang karakter menemukan pisau berkarat di bab awal, yang kemudian menjadi senjata utama di bab terakhir.